<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d36224245\x26blogName\x3dLoving+ma+self\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://oldskulz2004.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://oldskulz2004.blogspot.com/\x26vt\x3d-1321655929748760643', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Monday, March 17, 2008
Langkah Setan Menghapus Hijab Wanita

Setan dalam menggoda manusia memiliki berbagai macam strategi, dan yang sering dipakai adalah dengan memanfaatkan hawa nafsu, yang memang memiliki kecenderungan mengajak kepada keburukan (ammaratun bis su’). Setan tahu persis kecenderungan nafsu kita, dia terus berusaha agar manusia keluar dari garis yang telah ditentukan Allah, termasuk melepaskan hijab atau pakaian musli-mah. Berikut ini tahapan-tahapannya.

I. Menghilangkan Definisi Hijab

Dalam tahap ini setan membisik-kan kepada para wanita, bahwa pakaian apapun termasuk hijab (penutup) itu tidak ada kaitannya dengan agama, ia hanya sekedar pakaian atau mode hiasan bagi para wanita. Jadi tidak ada pakaian syar’i, pakaian ya pakaian, apa pun bentuk dan namanya. Sehingga akibatnya, ketika zaman telah berubah, atau kebudayaan manusia telah berganti, maka tidak ada masalah pakaian ikut ganti juga. Demikian pula ketika seseorang berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, maka harus menyesuaikan diri dengan pakaian penduduknya, apapun yang mereka pakai. Berbeda halnya jika seorang wanita berkeyakinan, bahwa hijab adalah pakaian syar’i (identitas keislaman), dan memakainya adalah ibadah bukan sekedar mode. Biarpun hidup kapan saja dan di mana saja, maka hijab syar’i tetap dipertahankan. Apabila seorang wanita masih bertahan dengan prinsip hijabnya, maka setan beralih dengan strategi yang lebih halus.
Caranya?

Pertama,
Membuka Bagian Tangan Telapak tangan mungkin sudah terbiasa terbuka, maka setan mem-bisik kan kepada para wanita agar ada sedikit peningkatan model yakni membuka bagian hasta (siku hingga telapak tangan). “Ah tidak apa-apa, kan masih pakai jilbab dan pakai baju panjang? Begitu bisikan setan. Dan benar sang wanita akhirnya memakai pakain model baru yang menampakkan tangannya, dan ternyata para lelaki yang melihat nya juga biasa-biasa saja. Maka setan berbisik,” Tuh tidak apa-apa kan?

Kedua, Membuka Leher dan Dada
Setelah menampakkan tangan menjadi kebiasaan, maka datanglah setan untuk membisikkan hal baru lagi. “Kini buka tangan sudah lumrah, maka perlu ada peningkatan model pakaian yang lebih maju lagi, yakni terbuka bagian atas dada kamu.” Tapi jangan sebut sebagai pakaian terbuka, hanya sekedar sedikit untuk mendapatkan hawa, agar tidak gerah. Cobalah! Orang pasti tidak akan peduli, sebab hanya bagian kecil saja yang terbuka. Maka dipakailah pakaian model baru yang terbuka bagian leher dan dadanya dari yang model setengah lingkaran hingga yang model bentuk huruf “V” yang tentu menjadikan lebih terlihat lagi bagian sensitif lagi dari dadanya.

Ketiga, Berpakaian Tapi Telanjang
Setan berbisik lagi, “Pakaian kok hanya gitu-gitu saja, cari model atau bahan lain yang lebih bagus! Tapi apa ya? Sang wanita bergumam. “Banyak model dan kain yang agak tipis, lalu bentuknya dibuat yang agak ketat biar lebih enak dipandang,” setan memberi ide baru. Maka tergodalah si wanita, di carilah model pakaian yang ketat dan kain yang tipis bahkan transparan. “Nggak apa-apa kok, kan potongan pakaiannya masih panjang, hanya bahan dan modelnya saja yang agak berbeda, biar nampak lebih feminin,” begitu dia menambahkan. Walhasil pakaian tersebut akhirnya membudaya di kalangan wanita muslimah, makin hari makin bertambah ketat dan transparan, maka jadilah mereka wanita yang disebut oleh Nabi sebagai wanita kasiyat ‘ariyat (berpakaian tetapi telanjang).

Keempat, Agak di Buka Sedikit
Setelah para wanita muslimah mengenakan busana yang ketat, maka setan datang lagi. Dan sebagaimana biasanya dia menawarkan ide baru yang sepertinya segar dan enak, yakni dibisiki wanita itu, “Pakaian seperti ini membuat susah berjalan atau duduk, soalnya sempit, apa nggak sebaiknya di belah hingga lutut atau mendekati paha?” Dengan itu kamu akan lebih leluasa, lebih kelihatan lincah dan enerjik.” Lalu dicobalah ide baru itu, dan memang benar dengan dibelah mulai bagian bawah hingga lutut atau mendekati paha ternyata membuat lebih enak dan leluasa, terutama ketika akan duduk atau naik ke jok mobil. “Yah tersingkap sedikit nggak apa-apa lah, yang penting enjoy,” katanya. Inilah tahapan awal setan merusak kaum wanita, hingga tahap ini pakaian masih tetap utuh dan panjang, hanya model, corak, potongan dan bahan saja yang dibuat berbeda dengan hijab syar’i yang sebenarnya. Maka kini mulailah setan pada tahapan berikutnya.

II. Terbuka Sedikit Demi Sedikit

Kini setan melangkah lagi, dengan trik dan siasat lain yang lebih ampuh, tujuannya agar para wanita menampak kan bagian aurat tubuhnya.

Pertama, Membuka Telapak Kaki dan Tumit.
Setan Berbisik kepada para wanita, “Baju panjang benar-benar membuat repot, kalau hanya dengan membelah sedikit bagiannya masih kurang leluasa, lebih enak kalau di potong saja hingga atas mata kaki.” Ini baru agak longgar. “Oh ada yang kelupaan, kalau kamu bakai baju demikian, maka jilbab yang besar tidak cocok lagi, sekarang kamu cari jilbab yang kecil agar lebih serasi dan gaul, toh orang tetap menamakannya dengan jilbab.” Maka para wanita yang terpengaruh dengan bisikan ini buru-buru mencari model pakaian yang dimaksudkan. Tak ketinggalan sepatu hak tinggi, yang kalau untuk berjalan mengeluarkan suara yang menarik perhatian orang.

Kedua, Membuka Seperempat Hingga Separuh Betis Terbuka telapak kaki telah biasa ia lakukan, dan ternyata orang-orang yang melihat juga tidak begitu peduli. Maka setan kembali berbisik, “Ternyata kebanyakan manusia menyukai apa yang kamu lakukan, buktinya mereka tidak bereaksi apa-apa, kecuali hanya beberapa orang. Kalau langkah kakimu masih kurang leluasa, maka cobalah kamu cari model lain yang lebih enak, bukankah kini banyak rok setengah betis dijual di pasaran? Tidak usah terlalu mencolok, hanya terlihat kira-kira sepuluh senti saja.” Nanti kalau sudah terbiasa, baru kamu cari model baru yang terbuka hingga setengah betis.” Benar-benar bisikan setan dan hawa nafsu telah menjadi penasehat pribadinya, sehingga apa yang saja yang dibisikkan setan dalam jiwanya dia turuti. Maka terbiasalah dia mema-kai pakaian yang terlihat separuh betisnya kemana saja dia pergi.

Ketiga, Terbuka Seluruh Betis
Kini di mata si wanita, zaman benar-benar telah berubah, setan telah berhasil membalikkan pandangan jernihnya. Terkadang sang wanita berpikir, apakah ini tidak menyelisihi para wanita di masa Nabi dahulu. Namun buru-buru bisikan setan dan hawa nafsu menyahut, “Ah jelas enggak, kan sekarang zaman sudah berubah, kalau zaman dulu para lelaki mengangkat pakaiannya hingga setengah betis, maka wanitanya harus menyelisihi dengan menjulurkannya hingga menutup telapak kaki, tapi kini lain, sekarang banyak laki-laki yang menurunkan pakaiannya hingga bawah mata kaki, maka wanitanya harus menyelisihi mereka yaitu dengan mengangkatnya hingga setengah betis atau kalau perlu lebih ke atas lagi, sehingga nampak seluruh betisnya.” Tetapi… apakah itu tidak menjadi fitnah bagi kaum laki-laki,” gumamnya. “Fitnah? Ah itu kan zaman dulu, di masa itu kaum laki-laki tidak suka kalau wanita menampakkan auratnya, sehingga wanita-wanita mereka lebih banyak di rumah dan pakaian mereka sangat tertutup. Tapi sekarang sudah berbeda, kini kaum laki-laki kalau melihat bagian tubuh wanita yang terbuka malah senang dan mengatakan ooh atau wow, bukankah ini berarti sudah tidak ada lagi fitnah, karena sama-sama suka?

Lihat saja model pakaian di sana-sini, dari yang di emperan hingga yang yang bermerek kenamaan, seperti Kristian Dior, semuanya menawarkan model yang dirancang khusus untuk wanita maju di zaman ini. Kalau kamu tidak mengikuti model itu akan menjadi wanita yang ketinggalan zaman.” Demikianlah, maka pakaian yang menampakkan seluruh betis biasa dia kenakan, apalagi banyak para wanita yang memakainya dan sedikit sekali orang yang mempermasalahkan itu. Kini tibalah saatnya setan melancarkan tahap terakhir dari siasatnya untuk melucuti hijab wanita.

III. Serba Mini

Setelah pakaian yang menampak kan betis menjadi pakaian sehari-hari dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan setan yang lain. “Pakaian membutuhkan variasi, jangan itu-itu saja, sekarang ini modelnya rok mini, dan agar serasi rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah.” Maka akhirnya rok mini yang menampakkan bagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bagian dada sekaligus bagian punggung nya dan berbagai model lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian pesta, berlibur, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, sore, musim panas, musim dingin dan lain-lain, tak ketinggalan celana pendek separuh paha pun dia miliki, model dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicoba. Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh setan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia. Hingga suatu ketika, muncul ide untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bagian paling rawan saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan “bikini”. Karena semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan na’udzu billah bisikan setan berhasil, tujuannya tercapai, “Menelanjangi Kaum Wanita.” Selanjutnya terserah kamu wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan laki-laki lain, di tempat umum. Aku berlepas diri kalau nanti kelak kalian sama-sama di neraka. Aku hanya menunjukkan jalan, engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri semua dosamu” Setan tak mau ambil resiko.

Penutup
Demikian halus, cara yang digunakan setan, sehingga manusia terjeru-mus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larut, karena kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sangat sulit bagi kita untuk mengatasinya. Membiarkan mereka membuka aurat berarti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyeng-sarakan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber ide dan pokok pikiran: Kitab “At ta’ari asy syaithani”, Adnan ath-Tharsyah, disadur dengan bebas.

diambil dari http://ummusalma.wordpress.com/2007/03/01/langkah-setan-menelanjangi-wanita/


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 9:26 PM

-------------------------------------------------------
Thursday, March 13, 2008
MENJAWAB SYUBUHAT TAWASSUL
HADITS ORANG BUTA YANG BERTAWASSUL KEPADA NABI


diambil di http://abusalma.wordpress.com/2007/11/18/menjawab-syubuhat-tawassul/

Telah datang kepada saya sebuah email dari seorang sahabat yang mempertanyakan hal berikut :

Assalaamu’alaykum warohmatullohi wabarokaatuh
Akhi, di myQuran ada syubhat tentang tawasul dengan menggunakan
keutamaan nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Berikut haditsnya.
==================potongan postingan=============
Kisah Sayyidina Utsman bin Hunaif رضي الله عنه
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير
فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال
رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم
إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى
ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسى، قال عثمان :
فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر.
(أخرجه الحاكم في الْمُسْتَدْرَكُ عَلَى الصَّحِيحَيْنِ)
Dari Utsman bin Hunaif: “Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم,
datang pada baginda seorang lelaki yang buta, maka ia mengadu tentang pengelihatannya yang hilang. Maka ia berkata: “Wahai Rasulullah! aku tidak mempunyai pembantu [untuk menuntunnya berjalan] dan aku juga ditimpa kesempitan” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:”Pergilah bilik air dan ambillah wudhu’! (lalu dia berwudhu’) kemudian sholatlah dua rakaat, kemudian bacalah [doa] (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan bertawajjuh kepadaMu dengan nabiMu, Muhammad [صلى الله عليه وسلم] Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat”. Utsman berkata:”Demi Allah maka tiada berpisah kami dan tidak juga lama selepas peristiwa ini berlaku dengan kami sehingga masuk seorang lelaki seolah-olah tidak pernah buta”. (Hadits riwayat al-Hakim di dalam al-Mustadrak ‘ala Shohihain)


Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam adz-Dzahabi mengatakatan bahwa hadits ini adalah shahih, demikian juga Imam at-Tirmidhi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih gharib. Dan Imam al-Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasai [didalam Sunan al-Kubra dan ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah], Ibnu Majah dan Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab shahihnya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam Musnadnya, Ibn Sunni di dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Imam al-Bukhari didalam Tarikh al-Kabir, al-Baihaqi didalam Dalailun Nubuwwah, ath-Thabarani didalam Mu’jam al-Kabir dan as-Saghir, ‘Abdu bin Humaid didalam Musnadnya, al-Hafidz al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid dan dia menshohihkannya, Abu Bakar ibn Abi Khaithamah didalam Tarikhnya, dan
didalam riwayatkan ada tambahan berikut:
(وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك)
Sekiranya kamu mempunyai hajat, maka lakukan seperti itu – Lihat kitab Intabih Diinuka fi Khatrin oleh al-’Allamah Abu Abdullah ‘Alawi al-Yamani; Raf’ul Minaarat li Takhrij Ahadits at-Tawassul wa az-Ziyaarah –
Didalam riwayat Imam at-Tirmidhi:
عن ، فقال: ادع الله أنعثمان بن حنيف أن رجلاً ضرير البصر أتى النبي
يعافني. قال: إن شئت دعوت، وإن شئت صبرت، فهو خير لك » قال: فادعه، قال:
فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعوا بهذا الدعاءاللهم إني أسألك وأتوجه
إليك بنبيك محمد، نبي الرحمة، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه
لتقضى لي، اللهم فشفعة فيّ.
قال الترمذي: هذا حديث صحيح غريب
Dari Utsman bin Hunaif bahwasanya seorang lelaki yang buta telah mendatang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم lau berkata: Mohonlah kepada Allah keafiatan untukku. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Jikalau engkau kehendaki aku doakan dan jika kamu bersabar, maka itu lebih baik bagi kamu. Lelaki itu berkata: Doakanlah kepada Allah. Maka baginda memerintahkan kepadanya berwudhu’ dan memperbaiki wudhu’nya dan berdoa dengan doa ini: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan bertawajjuh kepadaMu dengan NabiMu, Muhammad [صلى الله عليه وسلم] Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu [yakni sebagai wasilah] kepada Tuhanku pada hajatku ini semoga diperkenankan untukku. Ya Allah berilah baginya padaku”.
=============akhir potongan=============
Mohon bagi antum yang faham tentang hal ini, semoga Allah bisa menghilangkan keragu-raguan ane terhadap hal ini.
Wassalaamu’alaykumwarohmatullohi wabarokaatuh


Sembari bertawassul dengan nama-nama Allâh yang Maha sempurna lagi indah, dan memohon taufiq dan pertolongan dari Allâh, saya berkata :


Pertama : Keshaĥîĥan Ĥadîts
Saya sepakat bahwa ĥadîts kisah orang buta yang diriwayatkan oleh Shaĥâbat ‘Utsmân bin Ĥunaif radhiyallâhu ‘anhu adalah ĥadîts yang shaĥîĥ. Ĥadîts ‘Utsman bin Ĥunaif tersebut –dengan beberapa perbedaan lafazh- dikeluarkan oleh :
Imâm Aĥmad di dalam Musnad-nya (IV:138)
At-Tirmidzî dalam Tuĥfatul Aĥwadzî Syarh Jâmi’ at-Tirmidzî (IV:281-2) dan beliau berkata : “ĥadîts ĥasan shaĥîĥ gharîb”
An-Nasâ`î dalam ‘Amalul Yaum wal Laylah dan as-Sunanul Kubrâ (VI:169)
Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (I:418)
Ibnu Khuzaimah di dalam Shaĥîĥ-nya
al-Ĥâkim ( I:313) dan beliau berkata : “­sha­ĥîĥ ‘ala syarthil Bukhârî wa Muslim”
Al-Muĥaddits al-Albânî menshaĥîĥkannya di dalam “Shaĥîĥ at-Targhîb wat Tarhîb”, bâb at-Targhîb fî Sholâtil Ĥâjah, juz I, hal. 166 [Riyadh : Maktabah al-Ma’ârif, cet. V].

Kesimpulan : Ĥadîts ini shaĥîĥ maqbūl tidak menyisakan keraguan sedikitpun.


Kedua : Mendudukkan Tawassul
Setelah kita mensepakati akan kesha­ĥîĥan ĥadîts, tersisa sekarang bagaimana pemahaman ĥadîts di atas. Ahlu Tashawwuf dan Quburîyun berdalil dengan ĥadîts di atas akan bolehnya bertawassul dengan jâh (kehormatan) dan kemuliaan atau bahkan dengan dzât Rasūlullah Muĥammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Sedangkan Ahlus Sunnah, menempatkan ĥadîts di atas pada proporsinya, ĥadîts di atas tidak menunjukkan sama sekali akan bolehnya bertawassul dengan dzât Nabi ataupun dengan kehormatan beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm.
Sebelumnya, kita fahami dulu, apakah tawassul itu. Tawassul berasal dari kata al-Wasîlah yang artinya adalah al-Qurbah (pendekatan diri). Apabila dikatakan : “wassala Fulânun ilallâhi wasîlatan” maknanya adalah ia melakukan suatu amalan untuk mendekatkan diri kepada Allôh. Jika dikatakan : “tawassala Fulânun ilayhi Ta’âla wasîlatan”, maka maknanya adalah mendekat kepada Allôh dengan suatu amalan. [Lihat Lisânul ‘Arob XI:724, al-Qâmus al-Muhîth IV:552, al-Mu’jamul Maqôyis VI:110].

Bisa juga dikatakan bahwa at-Tawassul bermakna : “Ja’lu asy-Syai’ (al-wasîlah) baina al-Mutawassil wa baina al-Mutawassal ilayhi litaqorrubihi” yaitu menjadikan sesuatu perantara antara seorang yang bertawassul dengan yang ditawassuli untuk mendekatkan diri kepadanya. Hal yang sama juga, seseorang yang menjadikan sesuatu wasilah antara dirinya dengan Allâh, maka dikatakan dia bertawassul. Misalnya dalam firman Allôh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allôh dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS al-Mâ`idah : 35)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata : “{Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya}, Sufyân ats-Tsaurî berkata, Ayahku memberitakan kepadaku dari Thalĥaĥ dari ‘Athô` dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata : yaitu dengan cara al-Qurbah (mendekatkan diri kepada Allôh). Demikian pula yang dikatakan oleh Mujâhid, [‘Athô`], Abū Wâ`il, al-Ĥasan, Qotâdah, Abdullâh bin Katsîr, as-Sudî dan Ibnu Zaid. Qotâdah berkata : ‘yaitu, bertaqorrub kepada-Nya dengan ketaatan dan amal yang diridhai-Nya.’.” [Tafsîr al-Qur`ânil ‘Azhîm, Dâr ath-Thayîbah, cet. II, 1420, juz III, hal. 103].

Ahlus Sunnah meyakini bahwa tawassul adalah ibadah, maka haruslah tidak keluar dari dua syarat, yaitu (1) ikhlâsh, menghadapkan semua ibadahnya hanya bagi Allôh semata, dan (2) mutâba’ah, meneladani Rasūlullâh di dalam beribadah dan tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada tuntunan dari beliau. Ibadah yang diamalkan tanpa ada dalil dan tuntunannya maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Ahlus sunnah memperbolehkan tawassul yang syar’î, yang tidak mengandung unsur bid’ah, syirik dan kultus berlebihan di dalamnya, baik terhadap nabi maupun orang shalih. Diantara bentuk tawassul yang disyariatkan adalah :

Pertama : Tawassul dengan Asmâ`, shifât dan af’âl (perbuatan) Allôh ‘Azza wa Jallâ. Diantara dalilnya adalah :

Firman Allôh ‘Azza wa Jallâ dalam surat al-A’râf ayat 180 :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allôh-lah Nama-Nama yang indah, maka berdo’alah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama Allôh yang indah itu.”
Ĥadîts shaĥîĥ dari Ibnu Mas’ūd radhiyallâhu ‘anhu, tentang do’a tatkala diliputi oleh kesedihan dan kerisauan, diantara lafazhnya adalah :
أسألك بكل اسم هو لك , سميت به نفسك, أو أنزلته في كتابك, أو علمته أحدًا من خلقك, أو استأثرت به في علم الغيب عندك
“Saya memohon pada-Mu dengan setiap nama milik-Mu, yang Engkau sendiri menamakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan ilmu-Nya di dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu (sehingga hanya Allôhlah yang tahu)…” [HR Aĥmad, disha­ĥîĥkan oleh Syaikh al-Albânî dan Syaikh Aĥmad Syâkir).
Diantaranya juga adalah, doa yang berbunyi “Yâ Ĥayyu Yâ Qoyyūm biraĥmatika astaghîtsu” [HR Tirmidzi, dishaĥîĥkan Syaikh al-Albânî]. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

Kedua : Tawassul dengan Imân kepada Allôh dan Rasul-Nya

Dalilnya adalah firman Allôh surat al-Mu`minūn ayat 109 :
إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَا آَمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا
“Sesungguhnya ada sekelompok orang dari hamba-hamba-Ku berdoa : ‘Ya Rabb kami, kami telah beriman maka ampuni dan rahmati kami’.”
Demikian pula dengan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imrân ayat 53 :
رَبَّنَا آَمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
”Ya Rabb kami, kami telah beriman dengan apa yang telah Engkau turunkan dan kami pun telah mengikuti Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang mempersaksikan (ketauĥîdan Allôh).”

Ketiga : Tawassul dengan kelemahan dan kerendahan diri

Dalilnya adalah firman Allôh surat Maryam ayat 4 yang mengisahkan tentang Zakarîyâ yang mengadu kepada Rabb-nya :
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
”Beliau berkata : ’Wahai Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau ya Rabb-ku.”
Hal serupa juga dibolehkan untuk mengatakan : ”Ya Rabbku, sesungguhnya aku ini orang yang lemah… orang yang sangat membutuhkan-Mu… orang yang hina… maka ampunilah aku wahai Rabbku…” dan yang semisal.

Keempat : Tawassul dengan amal shâlih

Dalilnya adalah kisah yang diceritakan oleh Rasūlullâh dalam ĥadîts sha­ĥîĥ yang muttafaq ’alaihi, tentang tiga pemuda Bani Isrâ`il yang bermalam di sebuah gua, kemudian mereka terperangkap ke dalamnya setelah sebuah batu besar jatuh menutupi mulut gua. Mereka telah berupaya sekuat tenaga untuk menggeser batu tersebut namun tidak bisa. Akhirnya mereka pun berdoa kepada Allôh dan bertawassul dengan ’amal shâliĥ mereka.

Orang pertama dari mereka mengatakan : ”Ya Allôh, saya memiliki dua orang tua yang telah renta, dan saya senantiasa berbuat baik kepada keduanya. Apabila minum susu, maka saya dahulukan mereka daripada isteri dan anak-anakku. Suatu ketika saya menggembala ke tempat yang jauh, dan saya kembali ke rumah di saat tengah malam. Saya bermaksud memberi mereka susu, namun mereka telah tertidur pulas, maka saya pegang gelas tersebut semalam suntuk sampai akhirnya fajar menyingsing dan mereka pun bangun, lalu aku meminumkan susu tersebut kepada mereka. Ya Allôh, apabila amalku ini hanya kulakukan untuk mengharap ridha-Mu, maka berikanlah kami jalan keluar atau selamatkan kami.” Lalu batu tersebut bergeser sedikit.

Orang kedua mengatakan bahwa ia memiliki sepupu wanita yang cantik jelita dan ia sangatlah menyukainya, sedangkan wanita tersebut menolak dirinya. Pada suatu hari, gadis anak pamannya itu datang kepadanya meminta bantuannya untuk membantu dirinya dari melepaskan masalahnya. Lelaki itu mempergunakan kesempatan ini untuk menyerahkan diri wanita itu kepada dirinya, sebagai syarat bantuannya. Ketika lelaki itu sudah berada di atas wanita tersebut layaknya suami isteri, wanita tersebut berkata : ”wahai anda, takutlah kepada Allôh dan janganlah kamu mengambil kehormatan yang bukan hakmu.” Lelaki tersebut terperanjat, lalu ia berkata, ”Ya Rabb, sesungguhnya saya meninggalkannya bukan karena saya tidak menginginkannya, namun saya meninggalkannya karena saya takut kepada-Mu.” Lalu lelaki itu memenuhi apa yang diperlukan wanita tersebut. Kemudian dia berkata : ”Ya Allôh, apabila yang kuperbuat ini hanyalah untuk mencari ridha-Mu, maka selamatkanlah kami.” dan batu itupun bergeser sedikit.

Orang ketiga mengatakan, ia memiliki buruh-buruh pekerja dan suatu hari ada salah satu buruhnya yang belum menerima upahnya. Setelah ia mencarinya, akhirnya ia menggunakan upah buruh itu untuk investasi dan berkembang menjadi unta, domba, sapi dan seorang budak. Suatu ketika, sang buruh itu datang meminta kembali upahnya yang dulu, lalu orang ini mengatakan : ”seluruh apa yang anda lihat berupa onta, domba dan budak itu adalah milik anda.” Buruh tersebut berkata, ”bertakwalah anda kepada Allôh, apakah anda bermaksud memperolok-olok diriku.” Orang tersebut menjawab. ”demi Allôh tidak, ini semua adalah upah anda terdahulu.” Kemudian buruh tersebut menerima dan mengambil semua upahnya yang telah berubah menjadi unta, domba dan budak tersebut. Orang ini lalu berkata : ”Ya Allôh, apabila semua yang saya lakukan ini untuk mencari ridha-Mu, maka selamatkanlah kami.” Lalu bergeserlah batu tersebut sehingga akhirnya mereka dapat keluar dan selamat.

Kelima : Tawassul dengan do’a orang yang shâliĥ yang masih hidup

Dalilnya banyak, diantaranya adalah ĥadîts dari Anas radhiyallâhu ’anhu yang mengisahkan tentang tawassulnya ’Umar kepada ’Abbâs paman Rasūlullâh radhiyallâhu ’anhumâ di saat musim kemarau. ’Umar radhiyallâhu ’anhu berkata : ”Ya Allôh, kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata : ”Lalu turunlah hujan kepada mereka.” [HR Bukhârî]
Ĥadîts di atas tidak syak (ragu) lagi menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang shâliĥ yang masih hidup dan hadir, lalu kita meminta kepadanya untuk mendoakan kemashlahatan bagi kita

Peringatan : Ĥadîts ini oleh quburiyun shufiyun dijadikan sandaran bolehnya bertawassul dengan kehormatan, kedudukan atau kemuliaan orang shâliĥ –walaupun telah wafat.
Maka saya jawab, bahkan ĥadîts ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal adalah haram hukumnya.

Dengan argumentasi :
Sekiranya bertawassul dengan mayit dibolehkan, lantas kenapa ’Umar radhiyallâhu ’anhu tidak bertawassul kepada Rasūlullâh yang telah meninggal dunia, namun malah mendatangi paman Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam. Bukankah Rasūlullâh lebih mulia dan lebih shâliĥ dibandingkan paman beliau radhiyallâhu ’anhu? Apabila bertawassul dengan mayit diperbolehkan, niscaya Rasūlullâh lebih utama untuk ditawassuli daripada ’Abbâs, dan ’Umar tidak perlu mendatangi ’Abbas dan mengatakan, ”Ya Allôh, kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.”
Ĥadîts di atas menunjukkan bahwa ketika Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam masih hidup, ’Umar bertawassul dengan beliau, hal ini tampak pada ucapan beliau ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami” dan setelah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam wafat, beliau tidak bertawassul lagi dengan Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam, namun beliau mendatangi ’Abbas, paman Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam dan bertawassul dengan beliau, hal ini tampak pada ucapan beliau ”dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami”.

Dari riwayat ĥadîts tampak bahwa ’Umar pergi mendatangi ’Abbâs, untuk bertawassul dengan do’a beliau, bukan dengan kehormatan atau kemuliaan ’Abbâs. Kalimat ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami”, pada kalimat ini ada kata yang maĥdzūf (tersembunyi) dan taqdir (perkiraan)-nya bisa jadi ”kemuliaan/kehormatan” [sehingga menjadi : ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan paman Nabi kami”, taqdir semacam ini adalah dari pemahaman kaum shufiyun quburiyun] atau bisa jadi taqdir-nya adalah ”do’a” [sehingga menjadi : ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan doa Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan doa paman Nabi kami”] taqdir kedua inilah yang lebih benar, dengan sedikitnya dua alasan :

Apabila taqdir (perkiraannya) bahwa kata yang maĥdzūf itu adalah ”kehormatan/kemuliaan”, lantas mengapa ’Umar sampai bersusah payah datang kepada ’Abbâs, padahal ia dapat berdo’a dengan kemuliaan ’Abbâs di rumahnya, dengan mengatakan ”Ya Allôh, kami bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan paman Nabi kami”..

Apabila taqdir (perkiraannya) adalah ”kemuliaan”, niscaya kemuliaan Nabi lebih besar dan agung, sehingga beliau lebih berhak ditawassuli. Sedangkan realitanya, ’Umar tidak bertawassul dengan Nabi, beliau malah mendatangi ’Abbas dan bertawassul dengan beliau.
Pembahasan serupa insya Allôh akan datang pada pemaparan ĥadîts orang buta di bawah.


Ketiga : Menempatkan Ĥadîts

Baiklah, sekarang mari kita mengupas ĥadîts ’Utsman bin Ĥunaif ini.
عن عثمان بن حينف : « أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني . قال : ” إن شئت دعوت لك وإن شئت صبرت فهو خير لك ” فقال : ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه فيصلي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء : ” اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي ، اللهم فشفعه في وشفعني فيه ، قال : ففعل الرجل فبرأ »
”Dari ’Utsmân bin Ĥunaif : Bahwasanya seorang lelaki yang matanya buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Berdoalah kepada Allôh agar Ia menyembuhkanku.” Nabi menjawab : ”Jika kamu mau aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau untuk bersabar maka hal ini lebih baik.” Lalu orang buta itu berkata : ”berdoalah”. Lantas Nabi memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan sebaik-baiknya lalu sholatlah dua roka’at kemudian berdoalah dengan doa ini : ’Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat.

Wahai Muĥammad, sesungguhnya saya menghadap dengan engkau kepada Rabbku untuk memenuhi hajatku ini, maka penuhilah untukku. Ya Allôh, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafa’atku untuknya.” Dia (’Utsman bin Ĥunaif) berkata : ”Lelaki buta itu mengamalkannya lalu ia pun sembuh.” [Lafazh Ibnu Mâjah].

Di dalam riwayat al-Ĥâkim, lafazhnya adalah sebagai berikut :
أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، علمني دعاء أدعو به يرد الله علي بصري ، فقال له : « قل اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة ، يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي ، اللهم شفعه في ، وشفعني في نفسي » ، فدعا بهذا الدعاء فقام وقد أبصر تابعه
”Bahwasanya seorang lelaki buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Wahai Rasūlullâh, ajarkanlah aku sebuah doa yang mana aku berdoa dengannya Allôh berkenan mengembalikan pengelihatanku. Nabi lantas bersabda padanya : ”Katakan, Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu, seorang nabi yang penuh rahmat. Wahai Muĥammad sesungguhnya aku menghadap denganmu ke hadapan Rabbku. Ya Allôh terimalah terimalah syafaatnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.”

Serupa dengan lafazh di atas yang diriwayatkan oleh Imâm Aĥmad, an-Nasâ`î, dan selainnya.
Menurut Ahlus Sunnah, ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan Nabi, baik di masa hidup maupun wafat beliau. Demikian pula ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan selain beliau.

Ĥadîts ini hanya menunjukkan kebolehan bertawassul dengan do’a dan syafa’at Nabî di masa hidup beliau saja.

Ĥadîts di atas menunjukkan tawassulnya orang buta tersebut adalah dengan do’a Nabî, bukan dengan kehormatan/kemuliaan Nabi apalagi dzât beliau Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah argumentasinya :

Orang buta itu datang kepada Nabi supaya didoakan kesembuhan, sebagaimana tampak jelas dalam ucapannya : ”Berdoalah kepada Allôh agar Ia menyembuhkanku.” Jadi, maksud orang buta ini datang kepada Nabî adalah minta agar didoakan beliau, bukannya bertawassul dengan dzât atau kemuliaan beliau. Dia bertawassul dengan doa Nabî, dan hal ini adalah termasuk tawassul yang diperbolehkan.

Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepadanya, apabila ia mau sabar maka hal ini lebih baik, dan apabila ia tetap mau didoakan, maka Nabi berjanji akan mendoakannya dan mengajarinya doa. Jadi, kembalinya adalah bertawassul dengan do’a Nabi.
Hal ini menunjukkan bahwa bersabar adalah lebih utama.

Ketetapan pilihan orang buta tersebut supaya didoakan kesembuhan dari penyakitnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa orang ini datang untuk minta didoakan kesembuhan. Rasūlullâh pun memenuhi janjinya untuk mendoakan orang tersebut dan mengajarkan do’a kepada orang buta tersebut.

Orang buta tersebut bertawassul dengan ’amal shâlihnya, yaitu tawassul dengan amal ketaatannya di dalam menerima perintah Nabî untuk sholât dua rakaat dan dengan amal ibadah sholat dua rakaatnya itu sendiri. Telah jelas sebelumnya bahwa tawassul dengan amal shâliĥ kita sendiri adalah dibolehkan.

Adanya lafazh doa yang diajarkan Nabî, ”Ya Allôh terimalah syafaatnya untukku”, menunjukkan akan batilnya pemahaman tawassul dengan dzât Nabî, karena sangat mustahil kalimat ini dibawa kepada pemahaman tawassul dengan kehormatan ataupun dzât Nabî. Maknanya yang benar dari ”Ya Allôh terimalah terimalah syafaatnya untukku” adalah ”Ya Allôh, terimalah dan kabulkanlah doanya untukku agar pengelihatanku kembali.” Karena syafa’at itu maknanya adalah doa.

Lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” menunjukkan lebih jelas lagi akan ketidakmungkinan ĥadîts di atas difahami bertawassul dengan dzât atau kehormatan Nabî. Sekiranya difahami bahwa ucapan doa si lelaki buta tadi adalah tawassul dengan dzât Nabî, lantas bagaimana kita menempatkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, apakah Nabî bertawassul pula dengan dzât atau kehormatan si buta? Padahal maknanya yang benar adalah ”dan terimalah syafatku/doaku agar engkau menerima doa/syafaat beliau (Nabî).

Dalam kalimat ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu”, ada suatu kata yang maĥdzūf (tersembunyi) pada kalimat itu, dan taqdir (perkiraannya) adalah ”doa” [yang maknanya adalah : ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan doa Nabî-Mu”], bukannya ”kehormatan” ataupun ”dzât” [yang maknanya adalah ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan dzât atau kehormatan Nabî-Mu”]. Karena apabila ditaqdirkan dengan ”dzât” atau ”jâh” (kedudukan/kemuliaan), lantas untuk apa orang buta itu susah-susah mendatangi Nabî, padahal ia bisa berdoa di rumahnya seraya mengatakan : ”Ya Allôh, dengan kehormatan Nabi-Mu, aku memohon agar Engkau menyembuhkan mataku”…

Ĥadîts ini disebutkan oleh para ’Ulamâ` di dalam masalah mukjizat-mukjizat Nabî, doa-doa Nabî yang mustajâbah dan keberkahan doa beliau. Imâm Baihaqî memasukkan ĥadîts ini ke dalam bâb Dalâ`ilun Nubūwah. Hal ini menunjukkan kesembuhan orang buta tersebut berkat doa Nabî yang maqbūl. Sekiranya hanya berkat doa orang buta itu semata, niscaya setiap orang buta yang berdoa dengan doa ini dengan ikhlash pasti akan mendapatkan kesembuhan, padahal realitanya tidak demikian. Demikian pula, sekiranya kesembuhannya disebabkan tawassulnya dengan dzât Nabî, niscaya orang-orang buta lainnya yang bertawassul dengan dzât Nabî pastilah sembuh padahal realitanya juga tidak demikian.



Beberapa Syubuhât dan Jawabannya

Syubhat Pertama :
Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat-riwayat yang mu’tabar, tidak disebutkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, yang ada hanya sampai lafazh ”terimalah syafaatnya untukku”. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa makna tawassul dalam ĥadîts ini adalah tawassul dengan dzât atau jâh Nabî.

Jawab : Klaim tersebut tidak benar. Karena lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” adalah lafazh yang mu’tabar dan dikenal di dalam kitab-kitab ĥadîts. Lafazh ini ada di dalam riwayat A­ĥmad dan al-Ĥâkim, dishaĥîĥkan oleh al-Ĥâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabî.
Banyak penulis masa kini tidak menyebutkan lafazh terakhir ini dikarenakan apabila mereka menukilkannya, niscaya penakwilan mereka terhadap ĥadîts ini kepada tawassul dengan dzât tidak akan dapat dilakukan. Untuk itulah, mereka seringkali memotong dan meniadakan lafazh ini. Hal ini menunjukkan ketidakamanatan mereka.


Syubhat Kedua :

Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat lain, dari Hammâd bin Salamah yang dikeluarkan oleh Abū Khaitsamah dalam Târikh-nya, ada tambahan riwayat :
وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك
“Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini.”
Bukankah hal ini menunjukkan bahwa doa ini boleh dilakukan untuk hajat yang lain, kapan saja dan dimana saja selama memiliki hajat? Ini artinya, klaim yang menyatakan bahwa tawassul di sini bermakna tawassul dengan meminta doa Nabî adalah tidak tepat. Karena, apabila dimaksudkan bertawassul dengan meminta doa Nabî, mengharuskan dia mendatangi Nabî. Namun, ĥ­adîts ini menunjukkan bahwa, orang buta tersebut cukup sekali saja menemui Nabî, lalu setelah itu ia boleh melakukannya (berdoa) dimana saja dan kapan saja yang ia mau, padahal telah jelas di dalam lafazh doa tersebut adalah lafazh ’Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat’, sehingga lafazh ”dengan Nabi-Mu Muĥammad”, tentu saja akan bermakna dengan ”kehormatan”, ”jâh” atau ”dzât” Nabi.

Jawab : Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah raĥimahullâh di dalam al-Qâ’idah al-Jalîlah (hal. 102) menerangkan status infirâd (kesendirian) riwayat Hammâd bin Salamah di dalam meriwayatkan riwayat tambahan ini. Riwayat ini juga bertentangan dengan riwayat Syu’bah, yang lebih atsbat dan tsiqoh dibandingkan Hammâd.

Di dalam kaidah ĥadîts yang mu’tabar, seperti dijelaskan oleh al-Ĥâfizh dalam Nukhbatul Fikr, bahwa riwayat tambahan itu diterima selama tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqât. Riwayat yang demikian ini dikategorikan riwayat yang syâdz (ganjil).
Al-Muĥaddits al-Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî ra­ĥimahullah juga telah menjelaskan kelemahan tambahan riwayat ini secara panjang lebar dalam at-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu.
Taruhlah bahwa tambahan hadîts di atas adalah shaĥîĥ dan diterima. Namun hal ini juga bukan artinya riwayat di atas dapat diarahkan kepada pengertian tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh. Karena sabda Nabî “Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini”, maksudnya adalah mendatangi Rasūlullâh di kala beliau hidup, meminta agar beliau sudi mendoakan, sholat dua rakaat kemudian berdoa sebagaimana yang diajarkan Rasūlullâh.

Syubhat Ketiga :
Apabila mereka mengatakan : ”Sesungguhnya ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm ketika mengisyaratkan ĥadîts ini, beliau berkata : ”Lâ yajūzu at-Tawassul ilallôhi Ta’âlâ illa bin Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam in sho­­ĥĥal ĥadîts” [Tidak boleh bertawassul kepada Allôh kecuali bertawassul dengan Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam saja apabila ĥadîtsnya memang shaĥîĥ], sedangkan telah jelas bahwa ĥadîtsnya shaĥîĥ. Oleh karena itu, boleh bertawassul dengan (dzat) Nabî.

Jawab : Merujuk ke pernyataan al-Imâm ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm di atas, tidak ada dilâlah (penunjukan) yang pasti dari ucapan beliau bahwa yang beliau maksudkan adalah tawassul dengan dzât Nabî, dan tidak pula ada penjelasan pembolehan beliau dilakukan setelah Rasūlullâh wafat, karena isyarat beliau dalam ucapannya adalah ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, padahal telah jelas bahwa riwayat tersebut menjelaskan kisah orang buta yang bertawassul dengan doa Nabî di masa beliau hidup.

Al-Imâm asy-Syaukânî di dalam ad-Durorun Nadhîyah fî Khulâshoti Kalimatit Tauĥîd (termaktub dalam al-Majmū’ul Mufîd min ’Aqîdatit Tau­ĥîd, karya Syaikh ’Alî bin Mu­ĥammad bin Sinân, Dârul Kitâb al-Islâmî, Madînah, cet. V, 1412, hal. 14), setelah memaparkan pendapat al-’Izz bin ’Abdis Salâm dan ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, beliau berkata :
”Manusia di dalam mengartikan ĥadîts ini ada dua pendapat. Pertama : bahwasanya tawassul itu sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau berkata : “Ketika di musim kemarau, kami dahulu bertawassul kepada Nabi-Mu kemudian Engkau turunkan hujan kepada kami, adapun sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami.”

Hadîts ini terdapat dalam Shaĥîĥ a-Bukhârî dan selainnya. Di ĥadîts ini, ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu menceritakan bahwa mereka (para sahabat) bertawassul dengan (doa) Nabî di saat hidup beliau untuk meminta hujan, kemudian mereka bertawassul dengan paman Nabi setelah Nabî wafat untuk berdoa meminta hujan, kemudian beliau (‘Abbâs) berdoa disertai para sahabat lainnya yang juga turut berdoa bersama beliau, maka beliau menjadi wasilah bagi mereka kepada Allôh Ta’âlâ. Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dulunya adalah seperti ini juga, yaitu sebagai pemberi syafaat dan doa.

Pendapat kedua menyatakan bahwa tawassul boleh dilakukan pada saat beliau hidup dan wafat, di saat beliau hadir maupun tidak hadir. Padahal tidaklah tersamar bagi anda bahwasanya telah tetap ijma’ sahabat bahwa tawassul dengan Nabî hanyalah di saat hidup beliau kemudian mereka bertawassul dengan selain beliau setelah beliau wafat, hal ini merupakan ijma’ sukutî, pasalnya tidak ada sedikitpun pengingkaran sahabat terhadap ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau bertawassul dengan ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu. Menurutku (Imâm Syaukânî), tidak ada sisi pendalilan yang mengkhususkan kebolehan tawassul hanya kepada Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam saja, sebagaimana dikira oleh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salâm, dengan dua sebab : (pertama) dari ijma’ sahabat yang telah kita ketahui… dst [Perincian lebih jauh silakan baca ad-Durorun Nadhîyah karya Imâm asy-Syaukânî].
Dari ucapan Imâm asy-Syaukânî ini, tampak bahwa yang dimaksud oleh al-‘Izz adalah bertawassul dengan Nabî hanya di saat beliau hidup saja. Dan itupun yang dimaksud adalah dengan doa Nabî, bukanlah dengan dzât atau kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allôhu a’lâm.


Syubhat Keempat :
Apabila mereka mengatakan : Orang yang mengingkari bolehnya bertawassul dengan kemuliaan dan kehormatan Nabî, berarti telah mengingkari kemuliaan dan kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dikatakan oleh DR. Al-Būthî di dalam Fiqhus Sîrah, “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan terhadap Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan mengingkari tawassul dengan dzâtnya sepeninggal beliau.”

Jawaban : Ini adalah tuduhan kosong lagi dusta, yang dikemukakan tanpa hujjah dan dalîl, hanya diiringi semangat permusuhan dan kedengkian. Hujjah seperti ini terlontar ketika mereka sudah tidak mampu membantah hujjah ahlus sunnah, sehingga tuduhan-tuduhan dusta pun keluar. Mereka mengatakan bahwa kita tidak mencintai Rasūlullâh hanya karena kita menjelaskan bahwa shalawat yang tidak dituntunkan Nabî adalah bid’ah, maulid Nabî adalah bid’ah, dan segala amalan semu yang disandarkan kepada Nabî namun pada hakikatnya adalah bid’ah kemudian kita katakan bid’ah. Mereka tidak terima, dan sialnya mereka tidak punya hujjah, maka tuduhan seperti inilah yang keluar.

Adapun kami, alĥamdulillâh, adalah kaum yang paling mencintai Nabî. Kami berupaya menghidupkan sunnah beliau dan menumpas bid’ah dan syirik di dalam agama. Kami senantiasa membela beliau, menghidupkan sunnah beliau, dan menapaki di atas jalan beliau walau terasa berat dan terasingkan. Apabila kami mengatakan bahwa tawassul dengan dzât Nabî adalah bid’ah, maka bukan artinya kami tidak menghormati dan mencintai Nabî. Bahkan kami sangat mencintai dan menghormati beliau.

Kami mengakui keutamaan dan kemuliaan beliau dibandingkan manusia lainnya, bahkan dibandingkan nabi dan rasul lainnya. Kami meyakini beliau memiliki Syafâ’at al-Uzhmâ, beliau adalah Nabî yang paling utama dibandingkan Nabî dan Rasul lainnya. Kami meyakini bahwa beliau pemilik ĥaudh (telaga) yang airnya mengalir jernih, barangsiapa meminumnya niscaya tidak akan merasa haus selamanya. Kami meyakini, siapa saja yang menghujat beliau sedikit saja, maka telah kâfir keluar dari Islâm, termasuk pula siapa saja yang melecehkan sunnah beliau walaupun hanya satu buah sunnah.

Ketidakcintaan kepada Rasūlullâh adalah salah satu bentuk kekufuran. Tuduhan DR. Al-Buthî yang menyatakan bahwa orang yang menolak tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh sebagai sesat tidak mencintai Rasūlullâh, merupakan suatu tuduhan besar. Implikasi dari tidak mencintai Rasūlullâh adalah kekafiran. Apakah DR. Al-Buthî bermaksud menvonis kâfir? Apakah DR. Al-Būthî tidak sadar, bahwa tuduhannya juga menimpa kepada para Imâm Ahlus Sunnah, semisal Imâm Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî?!

Kemudian, bagaimana bisa al-Būthî menvonis hati orang lain? Ia mengatakan “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan…”, bagaimana bisa ia menvonis isi hati orang lain padahal hanya Allôh-lah yang bisa mengetahui apa yang ada dan terbetik di dalam hati seorang hamba. Apakah al-Būthî telah mengklaim memiliki perbendaharaan ilmu ghaib?!
Sungguh, apa yang dilontarkan oleh al-Būthî ini, hanyalah tuduhan kosong yang berangkat dari keputusasaannya…


Syubhat Kelima :
Apabila mereka mengatakan : Ya Akhî, ini kan masalah yang mukhtalaf fîhi (diperselisihkan), tidak selayaknya kita saling mengingkari dalam masalah ini. Biarlah yang meyakini tawassul dengan dzât Nabî itu disyariatkan, mereka mengamalkannya, selama mereka berangkat dari hujjah dan dalil mereka, dan tidak sepatutnya anda mempermasalahkannya apalagi mengingkarinya.

Jawab : Jika begitu, tentu kita tidak boleh pula mengingkari mereka yang berdalil dengan firman Allôh :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Ĥijr : 99)
Untuk menyatakan bahwa seorang muslim yang telah sampai kepada maqâm al-Yaqîn di dalam keimanan, maka tidak wajib lagi beribadah kepada Allôh.
Bukankah mereka berdalil dengan al-Qur‘ân? Dan bukankah penafsiran mereka ini sesuai dengan zhâhir? Dan bukankah pula, masalah ini adalah masalah yang mukhtalaf fîhi, yaitu yang diperselisihkan ahlus sunnah dan mereka (baca : ahli tashawwuf ekstrem)?

Namun tentu saja pemahaman mereka ini adalah menyimpang dan sesat, dan wajib diingkari. Kita wajib menegakkan hujjah kepada mereka dan menyampaikan hujjah yang paling haq. Namun, ironinya, ketika mereka sudah tidak punya hujjah lagi akan mengatakan, “ya akhî, ini masalah yang diperselisihkan, selama ada dalilnya anda tidak boleh mengingkarinya…”
Aduhai, akan rusak agama ini dengan hujjah semisal ini. Dan sungguh, hujjah (baca : apologi) seperti ini, hanyalah berangkat dari kejahilan dan keputusaasaan akibat tidak adanya dalil yang dapat menyokong pemahaman mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :
“Pendapat mereka bahwa di dalam masalah khilâf tidak ada pengingkaran adalah tidak benar, karena pengingkaran bisa jadi ditujukan kepada ucapan dengan penghukuman ataupun amalan. Adapun yang pertama (yaitu ucapan), apabila ucapan tersebut menyelisihi sunnah ataupun ijma’ terdahulu, maka wajib mengingkarinya secara sepakat.” [Lihat Bayânud Dalîl ‘ala Buthlânit Tahlîl karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 210; melalui perantaraan artikel berjudul Qouluhum inna Masa`ilal Khilaf La Inkara Fiha Laysa Bishahih,
www.dorar.net]

Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata :
“Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang mukhtalaf fîhâ (yang diperselisihkan) sedangkan para ahli fikih dari seluruh kalangan telah menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah, walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat beberapa ulama?” [ Lihat I’lamul Muwaqqi’in karya Imam Ibnul Qoyyim, Juz III hal. 300]



Daftar Bacaan :
Untuk dalil lebih lengkap dalam masalah ini, silakan baca :
Jâmi’ ar-Rosâ`il (I/7) karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah.
Ad-Durorun Nadhîd karya al-‘Allâmah Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî [dengan taĥqîq Syaikh ‘Alî bin Sinân dalam al-Majmū’ al-Mufîd min ‘Aqîdatit Tauhîd]
Ar-Roddu ‘alal Quburiyyin karya al-‘Allâmah Ĥammâd bin Nâshir Alu Mu’ammar [dengan taĥqîq Syaikh ‘Abdūs Salâm Barjas]
At-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu karya al-Mu­­ĥadditsul Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî
At-Tawassul Aqsâmuhu wa A­ĥkâmuhu karya Syaikh Abū Anas ‘Alî bin Ĥusain Abū Luz
At-Tawassul Ĥaqô`iq wa Syubuhât karya Syaikh Abū Ĥumaid bin ‘Abdillâh al-Fallâsî
Imâthotul Litsâm wa Kabhul Auhâm [Indonesia : Kuburan Agung, Darul Haq] karya Syaikh Mamduh Farĥan al-Buhairî


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 6:41 PM

-------------------------------------------------------
Saudaraku, tahukah kalian bahwa penyakit itu ada dua macam, penyakit hati dan penyakit jasmani? Kedua penyakit itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Klasifikasi jenis penyakit ini mengandung hikmah ilahi dan kemukjizatan yang hanya bisa dicapai oleh kalangan medis di pertengahan abad ke-18. Sesungguhnya iman kepada Allah dan para Rasul, yaitu aqidah yang tertanam dalam hati, merupakan solusi pengobatan yang terpenting bagi hati, yakni bagi penyakit jiwa. Sedangkan untuk penyakit jasmani, kita bisa menengok metode pengobatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Istilah Thibbun Nabawi dimunculkan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 M untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan pada Allah, sehingga terjaga dari kesyirikan, takhayul dan khurofat.

1. Habbatus Sauda’ atau Jinten Hitam atau Syuwainiz
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. bahwa ia pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Sungguh dalam habbatus sauda’ itu terdapat penyembuh segala penyakit, kecuali as-sam.” Saya bertanya, “Apakah as-sam itu?” Beliau menjawab, “Kematian”. Habbatus sauda’ berkhasiat mengobati segala jenis penyakit dingin, bisa juga membantu kesembuhan berbagai penyakit panas karena faktor temporal.


Biji habbatus sauda’ mengandung 40% minyak takasiri dan 1,4% minyak atsiri, 15 jenis asam amino, protein, Ca, Fe, Na dan K. kandungan aktifnya thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY). Telah terbukti dari berbagai hasil penelitian ilmiah bahwa habbatus sauda’ mengaktifkan kekebalan spesifik/kekebalan didapat, karena ia meningkatkan kadar sel-sel T pembantu, sel-sel T penekan, dan sel-sel pembunuh alami. Beberapa resep penggunaan dan manfaat habbatus sauda’:


Ditumbuk, dibuat adonan dangan campuran madu, kemudian diminum setelah dicampur air panas, diminum rutin berhari-hari: menghancurkan batu ginjal dan batu kandung kencing, memperlancar air seni, haid dan ASI.


Diadon dengan air tepung basah atau tepung yang sudah dimasak, mampu mengeluarkan cacing dengan lebih kuat.


Minum minyaknya kira-kira sesendok dicampur air untuk menghilangkan sesak napas dan sejenisnya.


Dimasak dengan cuka dan dipakai berkumur-kumur untuk mengobati sakit gigi karena kedinginan.


Digunakan sebagai pembalut dicampur cuka untuk mengatasi jerawat dan kudis bernanah.
Ditumbuk halus, setiap hari dibalurkan ke luka gigitan anjing gila sebagian dua atau tiga kali oles, lalu dibersihkan dengan air.


Untuk konsumsi rutin menjaga kesehatan, sebaiknya dua sendok saja. Sebagian kalangan medis menyatakan bahwa terlalu banyak mengkonsumsinya bisa mematikan.


2. Madu atau ‘Asl
“Dari perut lebah itu keluar cairan dengan berbagai warna, di dalamnya terdapat kesembuhan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)
Beberapa hasil penelitian tentang madu:


a. Bakteri tidak mampu melawan madu
Dianjurkan memakai madu untuk mengobati luka bakar. Madu memiliki spesifikasi anti proses peradangan (inflammatory activity anti)


b. Madu kaya kandungan antioksidan
Antioksidan fenolat dalam madu memiliki daya aktif tinggi serta bisa meningkatkan perlawanan tubuh terhadap tekanan oksidasi (oxidative stress)

c. Madu dan kesehatan mulut

Bila digunakan untuk bersikat gigi bisa memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi, mengobati sariawan dan gangguan mulut lain.


d. Madu dan kulit kepala
Dengan menggunakan cairan madu berkadar 90% (madu dicampur air hangat) dua hari sekali di bagian-bagian yang terinfeksi di kepala dan wajah diurut pelan-pelan selama 2-3 menit, madu dapat membunuh kutu, menghilangkan ketombe, memanjangkan rambut, memperindah dan melembutkannya serta menyembuhkan penyakit kulit kepala. (ana nk cuba ni)


e. Madu dan pengobatan kencing manis
Madu mampu menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes karena adanya unsure antioksidan yang menjadikan asimilasi gula lebih mudah di dalam darah sehingga kadar gula tersebut tidak terlihat tinggi. Madu nutrisi kaya vitamin B1, B5, dan C dimana para penderita diabetes sangat membutuhkan vitamin-vitamin ini. Sesendok kecil madu alami murni akan menambah cepat dan besar kandungan gula dalam darah, sehingga akan menstimulasi sel-sel pankreas untuk memproduksi insulin. Sebaiknya penderita diabetes melakukan analisis darah dahulu untuk menentukan takaran yang diperbolehkan untuknya di bawah pengawasan dokter.


f. Madu mencegah terjadinya radang usus besar (colitis), maag dan tukak lambung
Madu berperan baik melindungi kolon dari luka-luka yang biasa ditimbulkan oleh asam asetat dan membantu pengobatan infeksi lambung (maag). Pada kadar 20% madu mampu melemahkan bakteri pylori penyebab tukak lambung di piring percobaan.


g. Selain itu madu amat bergizi, melembutkan sistem alami tubuh, menghilangkan rasa obat yang tidak enak, membersihkan liver, memperlancar buang air kecil, cocok untuk mengobati batuk berdahak. Buah-buahan yang direndam dalam madu bisa bertahan sampai enam bulan.Madu terbaik adalah yang paling jernih, putih dan tidak tajam serta yang paling manis. Madu yang diambil dari daerah gunung dan pepohonan liar memiliki keutamaan tersendiri daripada yang diambil dari sarang biasa, dan itu tergantung pada tempat para lebah berburu makanannya.


3. Minyak Zaitun
“Konsumsilah minyak zaitun dan gunakan sebagai minyak rambut, karena minyak zaitun dibuat dari pohon yang penuh berkah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Fungsi minyak zaitun:
Mengurangi kolesterol berbahaya tanpa mengurangi kandungan kolesterol yang bermanfaat.
Mengurangi risiko penyumbatan (trombosis) dan penebalan (ateriosklerosis) pembuluh darah.
Mengurangi pemakaian obat-obatan penurun tekanan darah tinggi.
Mengurangi serangan kanker.
Melindungi dari serangan kanker payudara. Sesendok makan minyak zaitun setiap hari mengurangi risiko kanker payudara sampai pada kadar 45%.
Menurunkan risiko kanker rahim sampai 26%.
Pengkonsumsian buah-buahan, sayuran, dan minyak zaitun memiliki peran penting dalam melindungi tubuh dari kanker kolon.
Penggunaan minyak zaitun sebagai krim kulit setelah berenang melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma)
Berpengaruh positif melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi risiko tukak lambung.
Mengandung lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi manusia seperti yang terdapat dalam ASI.
Penggunaan sebagai minyak rambut mampu membunuh kutu dalam waktu beberapa jam saja.
Setiap penyakit itu ada obatnya, seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Setiap kali Allah menurunkan penyakit, Allah pasti menurunkan penyembuhnya. Hanya ada orang yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang pesat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui dan menerapkan pengobatan yang terbukti kemanjurannya.
Maraji:
Keajaiban Thibbun Nabawi, Aiman bin ‘Abdul Fattah
Metode Pengobatan Nabi SAW, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 4:04 PM

-------------------------------------------------------
Khasiat madu
Antara kelebihan madu lebah adalah:
1)selain membekalkan tenaga, ia juga mengandungi protein, mineral, vitamin dan nutrien lain.
ia mengandungi agen antioksidan, yang boleh mengurangkan aktiviti radikal bebas yang memusnahkan sel.
2)ia boleh meredakan sakit kepala - migrain ,membantu penggunaan kalsium dan menghalang osteoporosis.
3)ia juga boleh menyembuhkan penyakit konjunctivitis, jangkitan telinga, hidung tersumbat dan sakit tekak.
4)Royal Jelly, bahan putih seperti susu yang dihasilkan oleh kelanjar air liur lebah pekerja. Ia mengandungi banyak khasiat nutrien seperti protein, karbohidrat dan mineral. Ia mempunyai kesan positif terhadap kelenjar dan ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan masalah haid dan prostat.
5)Propolis, bahan berwarna perang merupakan 'glue' yang digunakan oleh lebah untuk menutup lubang pada sarangnya.'Glue' ini dikutip oleh lebah daripada sap pokok. Jika pokok tersebut mempunyai bahan antibiotik. propolis akan memindahkan bahan antibiotik dari sarang lebah kepada madu.


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 4:00 PM

-------------------------------------------------------
Tuesday, March 04, 2008
Now in ATC room.. checking out what sensor to be used..
Boring jgk.. Know y?? Bab every weekday kene dtg skola btwn 9-5pm till 14th april i tink and i dunno wad to do.. Bole amek leave for only 5 days.. Lag2 i dunno wad to do for ma fyp.. Duit for fyp tkde, so tk bole beli dulu..

This week ada test dpi. Tarikh tasyri', Alquran, bahasa arab.
Moga2 can do well. Insyaallah..

Tk sabar bile nk habes skola.. Da habes senang cket.. Bole keje n save duit utk sambung blaja dlm bidang agama.. Still remember those times, where i need to work and give some of my earnings to my mum, it felt great. Cepat2 habes poly, masuk ns, keje and sambung blaja.. Moga2 allah menambahkan rezeki.. insyaallah..

Endau rompin was an experience. It is a little different from last OE. Susah jgk nk explain..
Thinking of blaja dpi during fyp.. heh .. :)


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 3:11 PM

-------------------------------------------------------
Monday, March 03, 2008
Alhamdulillah ana selamat sampai di singapura semalam.
Hmm, i just know that there's a sejenis rokok that is good for your health. Tahu ape tk??
Actually its a kayu akar sejenis pokok dan dikeringkan then lepas tu bole hisap seperti rokok.
Its good bagi org yg menghidapi penyakit resdung.. Nk tahu apa tu resdung??

Istilah Perubatan Tradisional - Ia merupakan kerengsangan hidung yang boleh menyebabkan hidung dan organ-organ lain menjadi gatal dan menimbulkan ketidakselesaan.

Istilah Saintifik - Merupakan virus kanser yang hidup di bawah lapisan kulit. Ia mengalirkan darah kotor yang menjadi punca kepada kerosakan kulit muka. Virus ini turut mengalir bersama darah yang boleh menjadi punca kepada kerosakan organ-organ tertentu dalam badan.

Resdung adalah perkataan yang digunakan untuk menggambarkan pelbagai penyakit hidung.Salah satu punca gejala resdung adalah akibat jangkitan bakteria keatas hidung dan rongga disekelilingnya.

Dianggarkan hampir 25% penduduk negara ini mengalami penyakit resdung yang serius. Diantara tanda-tanda resdung ialah gatal-gatal, hidung berhigus atau tersumbat, sakit kepala terutama di dahi dan pipi, kelumumur yang berterusan walaupun bermacam syampu dan ubat telah digunakan. Penyakit resdung juga dikenali 'sinusitis'. Ramai yang tidak memandang serius tentang penyakit ini tapi sebenarnya boleh mendatangkan bahaya kepada penghidapnya.

Untuk kanak-kanak, ia boleh sebabkan jangkitan sellulitis dan merah pada bahagian mata. Akhirnya boleh menyebabkan buta.
Manakala untuk orang dewasa, ia boleh menyebabkan nanah daripada sinus frontal tidak dapat keluar daripada hidung dan akan masuk serta memenuhi ruang dalam otak. Ini akan menyebabkan dinding pemisah akan menjadi semakin tebal dan boleh mengakibatkan sinus mudah tersumbat.

Ingin sembuhkan??

Ikutla petua sebagai berikut:
1.
Petua Resdung yang paling mudah dan berkesan ialah dengan mengamalkan menyedut air ke dalam hidung. Kemudian picit sebelah hidung dan hembuskan sekuat hati. Buatlah berulang-ulang kali sehingga selesai kedua-duanya. Selepas itu basuhlah muka dengan bersih. Lakukan ini setiap kali setelah sampai ke satu-satu destinasi, baik ke pejabat,bersantai, beriadah atau pulang ke rumah malah ke mana saja. Kesannya sungguh menakjubkan. (heh.. alhamdulillah.. sesungguhnya dalam hadith yg sohih dan lebih rojih pd pendapat ana dlm berwuduk telah menyuruh kita utk memasukkan air dalam hidung lalu menghembuskannya.. subhanaallah.. lihat la bagaimana sempurnanya agama allah ini.. bag siapa yg berkata hadith ini merepek, ana hanya bole berdoa moga antum diberi hidayah.. lag2 kajian saintifik ini telah membuktikannya.. allahu a'lam)

2. Akar bunga melur boleh di jadikan penawar resdung.Cabut Pokok ni dan keringkan akarnya. Lepas tu bakar dan hidu akarnya,bagi pesakit resdung akan berasa pedas pada hidung masa hidu akar pokok ni. Mata juga rasa pedih dalam masa yang sama. Amalkan beberapa kali dan boleh lihat kesannya lepas tu. Selain akar melur pokok bunga raya juga ada khasiat yang sama.
( inilah yg ana beli di endau rompin. bila ana cuba ia rasa pedas. subhanaallah. Bagus bag mereka yg mau quit rokokkn.. hisapla benda ini, bukan rokok.. :) )

3. Makan madu dan habbatus sauda baek sekali kerana trdapat hadith sohih mengenai kebaikannya.. Makanlah ye..

Insyaallah, akan membuat research lag sekiranya ada masa.. Sampai di sini saja.. Insyaallah akan crite mengenai adventure di endau rompin..


That's it for now.. Allah subhanahu wa ta'ala knows best, 1:36 PM

-------------------------------------------------------